Ungkapan Duka Keluarga Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani, Sebut Juliana Marins Meninggal Dunia
Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah lama menjadi primadona bagi para pendaki dari berbagai penjuru dunia. Dengan ketinggian mencapai 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani menawarkan pemandangan kawah danau Segara Anak yang memukau, lanskap alam tropis yang eksotis, dan pengalaman spiritual yang mendalam.
Namun, di balik keindahannya, Rinjani juga menyimpan tantangan ekstrem. Jalur pendakiannya yang curam, berbatu, dan licin terutama saat musim hujan, sering kali menjadi medan yang berat bagi mereka yang kurang siap secara fisik maupun teknis. Salah satu bukti terbaru adalah tragedi yang menimpa Juliana Marins, turis asal Brasil yang dilaporkan jatuh dan akhirnya meninggal dunia saat mendaki gunung tersebut.
Juliana, 41 tahun, sedang melakukan pendakian bersama sekelompok wisatawan lainnya saat musibah itu terjadi. Menurut informasi awal dari tim SAR, ia terjatuh di jalur pendakian antara Plawangan Sembalun menuju puncak. Kejadian itu sontak memicu proses evakuasi besar-besaran, namun sayangnya nyawa Juliana tidak tertolong.

BAB 2: Kronologi Kejadian
Tragedi itu bermula pada awal Juni 2025, ketika Juliana Marins, seorang pegiat alam dan pecinta hiking dari Brasil, berlibur ke Indonesia. Bersama tiga orang rekannya, ia memutuskan untuk menaklukkan salah satu gunung tertinggi di Indonesia, Gunung Rinjani.
Perjalanan dimulai dari jalur Sembalun, yang merupakan salah satu jalur resmi dan cukup populer di kalangan wisatawan asing. Mereka berangkat dengan panduan seorang porter lokal dan dua orang pemandu gunung yang berlisensi.
Namun, ketika mereka sudah mendekati Plawangan Sembalun—salah satu titik istirahat sebelum summit attack—cuaca berubah mendadak. Kabut tebal dan hujan ringan mulai mengguyur kawasan tersebut. Juliana sempat terpisah dari rombongan ketika mendaki tanjakan terjal menuju puncak.
Pemandu yang menyadari bahwa Juliana tertinggal di belakang kemudian melakukan pencarian, namun tidak menemukannya di titik yang seharusnya. Tim SAR lantas dihubungi dan operasi pencarian pun dilakukan keesokan harinya.
Sekitar dua hari setelah hilang, tubuh Juliana ditemukan di lereng terjal sekitar 200 meter dari jalur utama pendakian. Ia diduga terpeleset saat mencoba mencari pijakan dan terjatuh ke jurang batu. Tim SAR menyebut, proses evakuasi memakan waktu panjang karena medan yang sangat sulit.
BAB 3: Ungkapan Duka dari Keluarga Juliana Marins
Kabar duka dari Indonesia itu langsung menyelimuti keluarga Marins yang tinggal di Rio de Janeiro, Brasil. Dalam pernyataan terbuka yang disampaikan melalui media dan kanal resmi Kedutaan Besar Brasil di Jakarta, keluarga menyampaikan kesedihan mendalam atas kehilangan sosok Juliana.
“Kami sangat terpukul dan hancur oleh kabar kepergian Juliana. Ia adalah jiwa petualang, selalu ingin menjelajahi dunia, mengenal budaya baru, dan mencintai alam. Indonesia adalah salah satu destinasi impiannya,” tulis adik Juliana, Renata Marins, dalam sebuah unggahan di media sosial.
Ibunya, Dona Lucia Marins, juga sempat mengungkapkan rasa kehilangan kepada media Brasil, Globo News. “Juliana selalu mengatakan bahwa ia ingin meninggal di tempat yang indah. Kami tidak pernah menyangka itu menjadi kenyataan. Kami hanya berharap dia tidak menderita di detik-detik terakhirnya.”
Keluarga Marins juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak otoritas Indonesia, termasuk Basarnas dan para porter lokal yang telah membantu mencari dan mengevakuasi Juliana. “Kalian telah memperlakukan putri kami dengan rasa hormat dan kasih sayang. Kami berutang rasa terima kasih yang tak terhingga,” ujar ayahnya, Senhor Paulo Marins.
BAB 4: Proses Pemulangan Jenazah ke Brasil
Setelah proses evakuasi selesai dan jenazah berhasil diturunkan ke basecamp, jenazah Juliana kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Mataram untuk dilakukan proses identifikasi dan visum. Kedutaan Brasil di Jakarta langsung bergerak cepat untuk mengurus proses administratif, termasuk penerbitan surat-surat resmi dan koordinasi dengan maskapai untuk pemulangan jenazah ke tanah air.
Duta Besar Brasil untuk Indonesia, Eduardo Gonçalves, juga menyempatkan diri terbang ke Mataram untuk menyampaikan belasungkawa langsung kepada tim yang telah membantu pencarian. Dalam wawancara singkat, ia menyebut tragedi ini sebagai pengingat penting bagi wisatawan asing agar selalu mengikuti prosedur keselamatan.
Jenazah Juliana akhirnya diterbangkan ke Brasil melalui jalur udara internasional dari Bandara Internasional Lombok, transit di Jakarta dan Doha, sebelum akhirnya tiba di Rio de Janeiro untuk dimakamkan di pemakaman keluarga.
BAB 5: Reaksi dan Respons Masyarakat Indonesia
Berita meninggalnya seorang turis asing di Gunung Rinjani menarik simpati luas dari masyarakat Indonesia. Di media sosial, tagar #PrayForJuliana sempat menjadi trending di platform X dan Instagram. Warganet Indonesia menyampaikan belasungkawa dan dukungan kepada keluarga korban.
Beberapa pendaki yang pernah bertemu Juliana juga membagikan kisah dan kenangan mereka. Salah satunya, seorang pendaki asal Malaysia bernama Aaron Lim yang sempat satu tenda dengan Juliana di basecamp Sembalun, menuliskan di akun Facebook-nya: “She was kind, always smiling, and deeply respectful of nature. Rest in peace, sister.”
Di Lombok sendiri, masyarakat sekitar Gunung Rinjani juga ikut merasakan duka. Para porter lokal menggelar doa bersama sederhana di Desa Sembalun, sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi Juliana. Mereka menyebutnya sebagai “wanita pemberani dari negeri jauh yang mencintai gunung kami.”
BAB 6: Catatan Penting tentang Keselamatan Wisatawan di Gunung Rinjani
Tragedi Juliana Marins membuka diskusi luas mengenai protokol keselamatan pendakian di Gunung Rinjani. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) menyatakan bahwa seluruh prosedur keselamatan sudah ditegakkan, termasuk pengecekan kondisi fisik pendaki, batasan jumlah peserta, hingga kewajiban menggunakan pemandu lokal.
Namun demikian, cuaca dan kondisi alam kadang berubah secara ekstrem tanpa bisa diprediksi. Karena itulah, para pendaki dihimbau untuk selalu waspada dan tidak memaksakan diri, terutama ketika sudah melewati batas stamina atau ketika kondisi cuaca tidak bersahabat.
BTNGR juga berencana memperketat pengawasan terhadap pendaki asing yang tidak menggunakan pemandu lokal atau mencoba mendaki tanpa izin resmi, sebuah praktik yang sayangnya masih sering terjadi.
BAB 7: Kilas Balik Kehidupan Juliana Marins
Juliana Marins bukanlah sosok biasa. Lahir di Brasil pada tahun 1983, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai konsultan komunikasi untuk organisasi lingkungan. Ia dikenal aktif mengikuti kampanye konservasi hutan Amazon dan kerap menjadi relawan untuk misi kemanusiaan di Amerika Selatan.
Di luar pekerjaan, Juliana mencintai gunung, laut, dan hutan. Dalam blog pribadinya yang masih bisa diakses, ia menuliskan niatnya menjelajahi pegunungan paling indah di Asia Tenggara, termasuk Bromo, Rinjani, dan Annapurna di Nepal.
Dalam salah satu unggahannya, Juliana menulis:
“Somewhere between the bottom of the climb and the summit is the answer to the mystery why I hike.”
(Suatu tempat antara dasar pendakian dan puncak adalah jawaban atas misteri mengapa aku mendaki.)
Kata-kata itu kini menjadi warisan kenangan yang mendalam bagi para sahabat dan keluarganya.
BAB 8: Penutup – Duka yang Menyatukan Dua Benua
Kematian memang menyisakan luka, apalagi ketika datang secara mendadak dan jauh dari tanah kelahiran. Namun, dalam duka yang mendalam ini, juga terselip jalinan kasih dan empati antarbangsa. Dari Brasil ke Indonesia, doa dan penghormatan terhadap sosok Juliana Marins mengalir tanpa batas.
Gunung Rinjani akan selalu menyimpan jejak langkahnya. Di antara kabut pagi dan semilir angin kawah, akan selalu ada kenangan tentang seorang wanita pemberani yang mencintai alam dengan segenap jiwa.
Keluarga Marins menyatakan bahwa mereka suatu hari ingin datang ke Rinjani untuk menanam pohon atas nama Juliana. “Agar alam yang ia cintai bisa terus hidup, dan semangatnya terus tumbuh.